Dalam bahasa Arab, ta’ memiliki beberapa makna atau faidah. Salah satunya adalah untuk menunjukkan muannas/taknis (perempuan). Sudah menjadi suatu ketentuan, jika ada sebuat kalimat yang berupa jumlah fi’liyah (susunan fi’il dan fa’il). Yang mana fa’ilnya itu berupa muannas (perempuan) maka fi’ilnya harus diberi ta’ ta’nis (تْ). Contohnya:
قَالَتْ عَائِشَةُ
(Aisyah berkata)
Lafadz قَالَتْ asalnya قَالَ. Ia diberi ta’ taknis (تْ) karena fa’ilnya berupa muannas (عَائِشَةُ).
Begitu juga, jika fa’ilnya tersebut berupa mudzakkar (laki-laki), maka fi’ilnya harus disunyikan dari ta’ taknis. Contohnya:
قَالَ مُحَمَّدٌ
(Muhammad berkata).
Lafadz قَالَ tidak boleh diberi ta’ taknis menjadi قَالَتْ, karena fa’ilnya berupa mudzakkar (مُحَمَّدٌ). Sehingga tidak boleh mengucapkan,
قَالَتْ مُحَمَّدٌ
Baca Juga: Manakah Yang Benar: Sholli Wasallam atau Sholli Wasallim?
Namun, ada beberapa lafadz dalam bahasa Arab yang secara sepintas tidak sesuai dengan ketentuan diatas. Lafadz yang dimaksud ialah sebagaimana redaksi berikut ini:
Pada lafadz yang bergaris diatas اِنْدَرَجَتْ النَّبِيُّوْنَ jika berdasarkan ketentuan diatas maka seharusnya dibaca إِنْدَرَجَ tanpa ta’ taknis, karena fa’ilnya berupa mudzakkar النَّبِيُّوْنَ (jamak mudzakkar salim). Maka menjadi,
إِنْدَرَجَ النَّبِيُّوْنَ
Lantas, kenapa lafadz diatas menggunakan ta’ taknis إِنْدَرَجَتْ padahal failnya berupa mudzakkar?
Dikutip dari kitab Hasyiyah Khudori, hal 164 tepatnya dibab fa’il (باب الفاعل). Disebutkan bahwa pemberian ta’ taknis pada fi madhi yang fa’ilnya berupa jamak mudzakkar salim terdapat pebedaan (khilaf) diantara ulama.
Pendapat pertama mengatakan boleh, hal ini dimotori oleh golongan ulama Kufah (الكُوفِيُّوْنَ). Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tidak boleh, ini adalah pendapat dari golongan ulama Basroh (البَصْرِيُّوْنَ).
Jadi, pada lafadz إِنْدَرَجَتْ النَّبِيُّوْن ini, sayyid Ahmad Badawi memilih pendapatnya ulama kufah yang memperbolehkan pemberian ta’ taknis pada fi’il yang fa’ilnya itu berupa jamak mudzakkar salim.