Mengapa Maqashid al-Syariah Harus Dipelajari?

Inilah Pentingnya Mempelajari Maqashid al-Syariah
Mengapa Maqashid al-Syariah Harus Dipelajari.

KITABONLINE.net – Dalam sebuah forum perkuliahan studi Maqashid al-Syariah (مقاصد الشريعة) di Universitas Al-Qolam Malang, seorang mahasiswa melontarkan pertanyaan dasar. Kaitannya adalah tentang kebermanfaat atau dimensi aksiologis dari mempelajari sebuah disiplin ilmu yang bernama maqashid al-syariah.

Bacaan Lainnya

Dia bertanya, mengapa kita harus memperlajari ilmu ini, Pak? Kira-kira apa akibat jika kita tidak mempelajari ilmu ini?. Cukup sengit diskusi yang terpantik oleh penanya tersebut dan saya sengaja membiarkan mereka menemukan jawaban sendiri.

Secara normatif-teoritis, jawaban atas pertanyaan tersebut sebetulnya sangat mudah dijumpai. Abu Ishaq al-Syatibi (w. 1388) tokoh terpenting dibalik sisematisasi maqashid al-syariah sebagai disiplin ilmu, misalnya menegaskan secara eksplisit posisi ilmu maqashid al-syariah sebagai syarat fundamental kualifikasi ijtihad. Menurutnya, seseorang baru bisa disebut berkualifikasi ijtihad jika sudah memiliki pemahaman yang utuh terhadap maqashid al-syariah serta kemampuan menggali hukum Islam berdasarkan pemahamannya itu.1

Penegasan yang sama, namun dengan redaksi yang berbeda, juga dinyatakan oleh Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur (w. 1973) yang mewakili generasi ulama kontemporer dalam wacana maqashid al-syariah. Dia menyatakan bahwa ahli fiki (faqih) harus memahami maqashid al-syariah ketika berijtihad pada aspek apapun dan dengan metode apapun.2

Baca Juga: Pengertian Maqashid Syariah Menurut Para Ulama

Pernyataan kedua tokoh tersebut sebetulnya sudah cukup sebagai jawaban normatif terhadap pertanyaan mahasiswa di atas. Terlebih-lebih, hingga detik ini tidak dijumpai seorang sarjana pun yang menolak arti penting ilmu maqashid al-syari’ah. Semua penulis buku atau artikel jurnal tentang maqashid al-syari’ah rata-rata mencantumkan poin manfaat dan arti penting disiplin ilmu ini. Bisa dikatakan, telah tercipta semacam “konsensus global” bahwa maqashid al-syari’ah adalah disiplin ilmu yang fundamental bagi pengembangan hukum Islam, khususnya disiplin ilmu usul fikih yang notabene menjadi “ibu kandung”-nya.

Tidak berlebihan kiranya, ketika Ainol Yaqin (2019) menulis buku yang berjudul Ushul Fiqh Progresif: Maqashid al-Syari’ah Sebagai Fundamen Formulasi Hukum Islam. Dalam bukunya itu, dosen IAIN Madura ini menempatkan maqashid al-syari’ah sebagai elemen dasar kriteria “progresif” bagi disiplin ilmu usul fikih.3

Namun, jawaban normatif di atas perlu diperkuat dengan jawaban tambahan dari perspektif epistemologis. Sebagian poin dari perspektif ini sudah ditulis dalam buku ini, sementara sebagian yang lain merupakan hasil eksplorasi saya sendiri. Titik poinnya adalah pada penggunaan metode induksi (istiqra) baik dalam proses identifikasi maqashid al-syari’ah maupun proses penerapannya terhadap realitas sosial. Sebagaimana ditulis dalam buku ini, metode induksi dalam wacana usul fikih diposisikan secara sangat istimewa, karena berfungsi tidak hanya sebagai metode saja, melainkan juga sebagai salah satu sumber hukum Islam. Al-Syathibi, misalnya, bertumpu kepada metode ini ketika menegaskan bahwa maqashid al-syari’ah adalah acuan hukum yang tidak bisa dibantah (qath’).4

Apabila ditelisik lebih mendalam, pengertian teknis dari metode induksi yang dimaksud oleh al-Syathibi sebetulnya bersifat komprehensif. Artinya, metode ini dipakai tidak hanya dalam konteks normatif-teoretis (analisis induktif terhadap teks) semata, tetapi juga konteks empiris-sosiologis. Hal ini terlihat dari pernyataan al-Syathibi ketika menjelaskan konsep analisis dampak (i’tibar al-ma’al) yang meniscayakan pengamatan sosiologis-empiris selain penalaran normatif-teoretis.5 Keniscayaan pengamatan sosiologis-empiris juga dia tegaskan ketika menjelaskan konsepsinya tentang realitas (‘adah, ‘awa’id); dia menyatakan bahwa pembebanan kewajiban (taklif) bertumpu pada pengamatan induktif (istiqra) terhadap realitas kehidupan subyek hukum (awa’id al-mukallafin).6

Metode induksi sebagaimana dipahami oleh al-Syathibī tersebut mencerminkan dua hal penting. Pertama adalah relasi interkonektif antara mashlahah dan ‘urf. Seperti dinyatakan oleh Muhammad Hashim Kamali (1991), mashlahah dan ‘urf tidak bisa dipisahkan karena sama-sama berujung kepada realisasi kesejahteraan sekaligus mencegah kesulitan publik.

Susah dibayangkan adanya pemisahan antara keduanya, mengingat ‘urf adalah media sekaligus jaminan bagi kemaslahatan publik. Itulah sebabnya, relasi interkonektif antara mashlahah dan ‘urf, seperti yang ditegaskan oleh Ahmad Baso (2015), merupakan salah satu kekuatan epistemologis Islam Nusantara sejak era Walisongo.7 Dalam sebuah artikel jurnal (2019), saya juga menegaskan hal serupa, yaitu bahwa pertautan antara mashlahah dan ‘urf menjadi salah satu lemen metodologis terpenting dalam nalar fikih kiai-kiai NU-saya sebut dengan istilah “Usul Fikih NU”.8

Kedua adalah keniscayaan penggunaan pendekatan multi disipliner-interdisipliner dalam wacana maqashid al-syari’ah. Realitas sosial (‘adah, ‘awa’id) yang kompleks tidak mungkin bisa dibaca dengan utuh hanya dengan pendekatan monodisipliner; semisal dengan analisis tekstual berdasarkan teori usul fikih an sich. Pembacaan terhadap realitas sosial (‘urf) harus melibatkan secara simultan ragam pendekatan ilmu sosial-budaya, semisal pendekatan historis, sosiologis, antropologis, psikologis, dan sebagainya. Dalam skema George Ritzer (2001), pendekatan tersebut disebut dengan istilah “paradigma sosiologi terpadu” (integrated sociological paradigm) yang menganalisis secara dialektis level makro-mikro dan obyektif-subtektif dari realitas sosial.9

Keniscayaan pendekatan multidisipliner-interdisipliner semakin tidak terbantahkan, ketika dikaitkan dengan perkembangan terkini wacana maqashid al-syari’ah. Seperti tertulis dalam buku ini, perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya gagasan Jasser Auda (2007) tentang aktualisasi maqashid al-syari’ah sebagai indeks kebijakan publik. Gagasan ini bertumpu pada dua pijakan penting. Pertama adalah pergeseran paradigma (paradigm shift) dari “pelestarian” (preservation) dan “perlindungan” (protection) menjadi “hak” (rights) dan “pengembangan” (development). Kedua adalah kuantifikasi maqashid al-syari’ah sebagai indeks pembangunan manusia yang bisa diukur melalui survey yang bersifat kuantitatif. Hasil dari survey tersebut bisa berfungsi sebagai data bagi evaluasi kebijakan publik.

Refrensi:

  1. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat, ed Abu Ubaidah Masyhur ibn Hasan Al Salman, Juz V, cet I (Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, 1997), hlm. 41-42 ↩︎
  2. Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, ed. Muhammad al-Habib ibn al-Khaujah, juz III (Qatar: Wazārah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 2004), hlm. 40-41. ↩︎
  3. Ainol Yaqin, Ushul Fiqh Progresif: Maqashid al-Syari’ah sebagai Fundamen Formulasi Hukum Islam, ctk. I (Yogyakarta: Pustaka Diniyah, 2019). ↩︎
  4. Ahmad al-Raisūnī, Nazhariyyah al-Maqashid ‘ind al-Imam al-Syathibi, ctk. IV (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1995), hlm. 307-314. ↩︎
  5. Al-Syathibi, al-Muwafaqat., juz V, hlm. 177-178. ↩︎
  6. Ibid., juz II, hlm. 483 ↩︎
  7. Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, ctk. I (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), hlm. 125-126. ↩︎
  8. Muhammad Adib, “Usul Fikih NU: Elemen Metodologis Mazhab Fikih NU”, Maqashid: Jurnal Hukum Islam, Vol. 2, No. 2 (2019), hlm. 42-57. ↩︎
  9. George Ritzer, Explorations in Social Theory: From Metatheorizing to Rationalization, ctk. I (London: SAGE Publication, 2001), hlm. 92-94. ↩︎

Pos terkait