Ruang lingkup kajian maqashid syariah tidak terlepas dari ruang lingkup fikih (hukum syariat), karena pada dasarnya maqashid syariah adalah rumusan paling mendasar dari hukum syariat tersebut. Ketika fikih merupakan produk hukum, maka maqashid syariah adalah alasan yang melatar belakangi penetapan hukum tersebut. Sehingga ruang lingkup maqashid syariah melekat dengan ruang lingkup fikih sebagai produknya.
Kata fikih berasal dari bahasa Arab yakni فقه yang berarti paham dan mengetahui. Dari makna bahasa ini semua ilmu bisa disebut fikih, karena fikih sinonim dengan kata ilmu. Sebagai sebuah istilah disiplin ilmu, kata fikih kemudian mengalami perkembangan makna yang berbeda dengan makna yang dipahami pada masa awal.
Baca Juga: Pengertian Maqashid Syariah Menurut Para Ulama
Imam al-Ghazali menjelaskan tentang perkembangan makna ini. Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din pada bagian penjelasan lima kata ilmu yang berubah makna, di antaranya adalah fikih, ilmu, tauhid, dzikr, dan hikmah.
Menurutnya kata fikih pada awalnya merujuk suatu ilmu yang mengulas negatifnya dorongan nafsu, perbuatan buruk untuk dihindari, serta bicara soal remeh-temehnya duniawi. Lalu pada perkembangan berikutnya, kata fikih justru merujuk pada ilmu soal fatwa hukun beserta penelusuran landasan hukumnya.
Hal itu dapat pula ditangkap dari ungkapan Imam Hanafi. Menurutnya fikih adalah mengetahui segala hal yang bermanfat dan yang berakibat buruk. Dalam sebuah hadis, ‘Ali ibn Abi Thalib menjelaskan:
الفقيه حق الفقيه، من لم يقنط الناس من رحمة الله، ولم يرخص لهم في معاصي الله، ولم يؤمن لهم من عذاب الله
“Ahli fikih sejati adalah dia yang tidak membuat orang lain putus asa akan rabmat Allah, yang tidak memberi kemurahan kepada mereka pada maksiat Alla, yang tidak membuat mereka merasa aman dari azab Allab.” (HR. Abu Daud)
Dari makna awal itulah kata fikih kemudian bergerak menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Jika pada makna awal, fikih lebih dekat pada ilmu tasawuf, maka kemudian fikih berubah menjadi ilmu yang mengulas hukum syariat.
Al-Jurjani menjelaskan bahwa fikih secara bahasa berarti pengetahuan seseorang akan maksud dari apa yang dia katakan. Secara istilah, fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang dihasilkan dari ijtihad pada dalil-dalilnya. Al-Jurjani menambahkan bahwa fikih adalah ilmu yang dihasilkan dari akal dan ijtihad, serta butuh pada pemikiran dan penelitian mendalam.
Fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengulas hukum syariat, memiliki dua cakupan ruang lingkup. Pertama, objek material yakni objek yang tampak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, objek formal yaitu objek yang tidak tampak dan hanya berupa pengamatan dan perspektif dalam melihat objek material. Objek material dari fikih adalah perbuatan manusia, sedangkan objek formalnya adalah produk hukum terkait dari suatu perbuatan manusia.
Objek material fikih sangatlah luas, karena objek pembahasan fikih adalah segala perbuatan manusia. Hal ini didasarkan bahwa syariat adalah dialog (khitab) Tuhan kepada manusia tentang segala perbuatannya. Khitab ini disebut dengan taklifi sedangkan objeknya disebut dengan mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam istilah fikih adalah orang dewasa (baligh) dan berakal.
Zakariyya al-Anshari menjelaskan:
الحكم خطاب الله المتعلق اما بفعل المكلف اقتضاء او تخييرا الفعل واما بأعم وضعا، وهو الوارد سببا وشرطا ومانعا وصحيحا وفاسدا
“Hukum adalah khitab Allah yang berkenaan dengan 1). perbuatan orang mukallaf, baik (sebagai bentuk) tuntutan melakukan atau pemberian pilihan perbuatan (melakukan atan tidak), 2). dan berkenaan dengan yang lebih umum (kepada mukallaf atau lainnya) sebagai khitab postioning atan labelling, khitab positioning ini memposisikan sesuatu sebagai: sabab atan syarth atan pencegah (bagi suatu perbuatan), khitab labelling memberikan status snatu perbuatan sebagai: sah atau tidak sah.”
Dan objek formal fikih adalah segala produk hukum yang dihasilkan dari ijtihad terhadap perbuatan mukallaf, di mana ijtihad tersebut berdasarkan pada telaah mendalam pada sumber-sumber hukum. Produk hukum ini dapat berupa:
- Hukum status (hukum taklifi) yang berisikan status wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.
- Hukum positioning (hukum wadl’) yang memposisikan sesuatu sebagai: sebab atau syarat atau pencegah dari sesuatu yang lain. Seperti “masuknya waktu salat” sebagai sebab hukum wajib salat.
- hukum labelling (hukum wadl’) yang memberi label terhadap suatu perbuatan dengan: sah atau tidak sah. Seperti salat yang memenuhi ketentuan dianggap sah. Dan salat yang tidak menghadap kiblat, tidak sah.
Jika kita simpulkan, maka kita temukan bahwa objek material dan formal fikih adalah sebagai berikut:
- Objek material pelaku, yaitu manusia (mukallaf).
- Objek material perbuatan, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (mukallaf).
- Objek formal status, yaitu status hukum berupa: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.
- Objek formal positioning (pemosisian), yaitu perbuatan atau keadaan tertentu yang diposisikan sebagai: sebab, syarat, atau pencegah keabsahan.
- Objek formal labelling, yaitu label terhadap suatu perbuatan dianggap sah atau tidak sah.
Penjelasan diatas adalah mengenai ruang lingkup dari fikih. Maqashid syariah yang terikat pada studi fikih memiliki ruang lingkup yang hampir sama. Hanya saja karena maqashid syariah memiliki pembahasan yang lebih khusus, maka ruang lingkupnya menjadi lebih spesifik.
Maqashid syariah tidak mengulas produk hukum sebagai objek formal, melainkan alasan dan latar belakang dari produk hukum itu. Suatu produk hukum tertentu diposisikan sebagai media untuk kemudian ditelusuri alasannya (kausa). Dan dari kausa inilah dikembangkan pula produk-produk hukum yang lain. Dengan kata lain, objek formal maqashid syariah adalah skema besar atau blueprint syariat atas segala perbuatan manusia. Hal itu untuk menjawab suatu pertanyaan apa sebenarnya yang dituju syariat atas manusia di segala tempat dan di semua waktu?. Maka jika dipetakan, objek material dan formal dari maqashid syariah dapat digambarkan sebagai berikut:
- Objek material pelaku, yaitu manusia (mukallaf).
- Objek material perbuatan, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (mukallaf).
- Objek formal media, yaitu semua produk hukum, baik berupa status, positioning, maupun labelling.
- Objek formal, yaitu alasan dari produk hukum.