Talaq atau perceraian merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Swt. Dalam Islam, taat kepada perintah orang tua adalah suatu kewajiban asalkan perintah tersebut tidak melibatkan perbuatan yang diharamkan. Sebab, dalam ketaatan tersebut terletak keridhaan Allah Swt.
Namun, jika seseorang dihadapi pada situasi di mana orang tuanya memerintahkan untuk menceraikan istrinya, sedangkan ia masih mencintainya. Siapa yang harus didahulukan, orang tua atau pasangan? Apakah seseorang berdosa jika ia tidak menuruti perintah kedua orang tuanya?
Baca Juga: Konsekuensi Hukum Talak Setengah
Dalam kitab Nailul Author dan Faidhul Qodir dijelaskan bahwa jika seseorang diarahkan oleh orang tuanya untuk menceraikan istrinya, maka anak tersebut wajib patuh meskipun ia masih mencintai istrinya. Kewajiban ini berlaku jika orang tua tersebut alim dan sholih, seperti Nabi Ibrahim yang memerintahkan Nabi Ismail untuk menceraikan istrinya. Hal ini dilakukan bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena Allah Swt. Namun, jika orang tua tidak termasuk dalam kategori alim dan sholih, maka anaknya dianjurkan untuk mematuhi permintaan tersebut demi mencari keridhaan orang tua.
Menolak permintaan orang tua yang menyuruh menceraikan istrinya seperti ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak orang tua. Sebaliknya, berbakti kepada orang tua adalah sebuah kewajiban, dan atas dasar ini para ulama memiliki pendapat yang berbeda.
Beberapa ulama berpendapat bahwa wajib bagi anak untuk taat kepada kedua orang tuanya selama perintah tersebut tidak mengarah pada kemaksiatan, meskipun hukum asalnya adalah mubah atau sunnah. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa jika perintah tersebut berkaitan dengan hal yang mubah, maka menjadi sunnah, sedangkan jika berkaitan dengan hal yang sunnah, maka menjadi sunnah mua’kad.
Dalam hal ini, prioritas tetap harus diberikan pada berbakti kepada kedua orang tua, namun jika seseorang tidak setuju dengan perintah orang tua, ia dapat melakukannya dengan cara yang baik dan alasan yang tidak menyakiti mereka. Sebagai contoh, ketika kita sedang kenyang setelah makan dan berkunjung ke orang tua, lalu mereka meminta kita untuk makan lagi, apakah dengan menolak dengan cara yang baik dan tanpa menyakiti mereka termasuk uquq (pelanggaran terhadap kewajiban berbakti kepada orang tua)? Mungkin dengan sedikit makan atau sekedar mencicipi dengan niat untuk membuat orang tua bahagia, kita dapat mendapatkan pahala. Jika kita melihat hal ini, maka tidak ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh anak, hanya sebatas sunnah, selama tidak ada kekhawatiran timbulnya fitnah, masyaqqoh, atau ta’annut (ketidaknyamanan).
Refrensi:
– Faidhul qodir, Juz 4 hal 262
– Nailul Author, Juz 5 hal 233