Inilah Hukum dan Syarat Mengutip Ibarot Kitab yang Belum Pernah Dipelajari

Hukum Menukil Ibarot Kitab Yang Belum Dipelajari
Inilah Hukum dan Syarat Mengutip Ibarot Kitab yang Belum Pernah Dipelajari.

Dalam konteks debat, diskusi, atau bahtsul masail, seringkali muncul pertanyaan mengenai etika dalam mengutip ibarot atau dalil-dalil dari kitab yang belum di pelajari. Apakah hal tersebut boleh dilakukan? Sejauh mana kita dapat mengambil dalil-dalil dari sumber-sumber yang belum kita pelajari?

Bacaan Lainnya

Ini adalah pertanyaan yang menarik dan penting untuk dijawab, terutama dalam upaya memastikan bahwa ibarot atau dalil yang kita sampaikan dapat digunakan.

Baca Juga: Terjemah Kitab Jawahirul Kalamiyah Lengkap Bab Muqaddimah

Adapun hukum mengutip ibarot atau dalil dari kitab yang belum pernah dipelajari adalah boleh. Dan harus memenuhi 3 syarat berikut:
1). Harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai dalam memahami konteks dan makna dari teks yang dikutip.
2). Harus menguasai bidang ilmu yang terkait dengan teks tersebut.
3). Teks yang dikutip haruslah bersumber dari kitab yang mu’tabarah dan diakui oleh Ahlussunah Waljamaah.

Sebagai contoh, seseorang yang telah mempelajari dasar-dasar ilmu tertentu yang dapat memahami teks dari kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab” meskipun belum pernah mempelajarinya langsung dari seorang guru. Maka, dalam contoh diatas ia diperbolehkan mengutip teks tersebut baik dalam hal bahtsul masail, diskusi atau kajian masalah keagamaan. Bahkan, jika orang tersebut dianggap memiliki keahlian khusus, maka ia diperbolehkan memberikan fatwa berdasarkan pemahaman dari teks yang dikutip.

Banyaknya kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama, maka ini menjadi sumber kekayaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mengutip atau merujuk pada isi kitab-kitab tersebut diperbolehkan selama kitab yang dirujuk adalah kitab yang diakui dan memiliki otoritas dalam tradisi keilmuan, terutama yang sesuai dengan Aqidah Ahlussunah Waljamaah.

Siapa pun yang ingin mengutip maka harus memiliki kemampuan dan keahlian dalam memahami isi dari kitab tersebut, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau kebingungan. Idealnya, seseorang yang mengutip telah mempelajari kitab tersebut atau setidaknya memiliki sanad.

Dalam praktiknya, ketika kita tidak menemukan referensi yang dibutuhkan dalam kitab yang sedang kita pelajari, kita dianjurkan untuk mencari di kitab lain yang memiliki penjelasan lebih mendalam. Misalnya, dalam “Fathul Qorib”, ketika mushonnif tidak menjelaskan secara detail tentang suatu hukum atau tidak mengutip dari kitab lain, sering kali ia merujuk pada kitab-kitab yang lebih lengkap seperti kitab “Al-Majmu’”, “Bujayromi”, “Tuhfatul Muhtaj”, “Nihayatul Muhtaj” dengan mengatakan “كما في المطولات” atau “seperti yang dijelaskan dalam kitab yang lebih panjang”.

Baca Juga: Perbedaan Ulama Tentang Surat Al-Falaq Makkiyah atau Madaniyah?

Pos terkait