Jima’ dan poligami merupakan topik yang sering kali menimbulkan kontroversi di masyarakat. Namun, tidak dapat disangkal bahwa ada sekelompok orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam atau disebut orang alim, cenderung menyukai jima’ (hubungan seksual dalam pernikahan) dan poligami.
Terdapat sebuah ibarot yang berbunyi,
إِنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ أَتْقَى فَشَهْوَتُهُ أَشَدُّ
(Sesungguhnya setiap orang yang paling bertaqwa kepada Allah maka syahwatnya kuat)
Apa Alasannya?
Dalam hal ini, imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang berjudul Jamii’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan alasan kenapa orang alim/sholih suka jima’ dan poligami.
Karena orang yang bertaqwa akan menjaga dirinya agar tidak memandang dan menyentuh hal-hal yang haram. Hal ini menyebabkan dorongan syahwat tertahan dalam dirinya, dan sebagai gantinya mereka lebih sering memuaskan hasrat seksualnya yang halal melalui hubungan intim (jima’) dengan istrinya.
Baca Juga: Hukum Menceraikan Istri atas Perintah Orang Tua? Wajibkah Ta’at!
Sedangkan, orang yang tidak bertaqwa cenderung memuaskan syahwatnya dengan cara melanggar syari’at, seperti memandang dan menyentuh hal-hal yang haram. Hal ini ditegaskan dalam penggalan hadis yang berbunyi,
اَلْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ
(Dua mata dan dua tangan yang berzina)
Ketika memandang dan menyentuh dijadikan sarana pemenuhan syahwat, maka akan mengakibatkan sedikit (kualitas) berjima’.
Abu Bakar Al Waraq berkata: “Semua syahwat (nafsu) dapat membuat hati menjadi keras, kecuali hubungan intim yang sah (jima’). Sesungguhnya jima’ dapat membantu melembutkan hati. Inilah alasan mengapa para Nabi memutuskan untuk melakukan poligami dan melakukan jima’ dengan istri-istri mereka”. Penjelasan ini terdapat dalam Tafsir al-Qurthubi Juz. 5/253.
Bahkan, Imam Ibnu ‘Uqail Al-Hanbali menyampaikan pengalamannya bahwa: “Ketika saya menghadapi kesulitan dalam memahami suatu permasalahan (ilmu), saya memanggil istri saya untuk berhubungan intim. Setelah selesai, saya mengambil selembar kertas dan menuangkan pemahaman saya ke dalamnya (mulai menulis sebuah kitab).” Alasannya adalah karena hubungan intim (jima’) dapat membersihkan pikiran dan memperkuat pemahaman.